Tuanku Putri Noor Asmara yang sedang beradu di peraduan indah di kamar Istana Seri Menanti tiba-tiba terjaga apabila terdengar derap langkah Tuanku Mahkota Alam Syah.
Tuanku Putri terus bangun lalu menjujung daulat setelah Tuanku Mahkota menghampiri Permaisuri tercinta, Tuanku Putri Noor Asmara.
Tuanku Putri terus bangun lalu menjujung daulat setelah Tuanku Mahkota menghampiri Permaisuri tercinta, Tuanku Putri Noor Asmara.
“Dinda sudah terjaga? Mungkin kerana langkah kekanda mengejutkan adinda yang sedang beradu?“ Tanya Tuanku Mahkota sambil menatap wajah mulus Permaisuri tercinta. Garis kerisauan jelas terpancar di wajah Tuanku Mahkota kerana baginda rasa bersalah mengejutkan Permaisuri tercinta yang sedang beradu.
“Bukan begitu kekanda. Kekanda tidak mengejutkan adinda tetapi adinda tersedar sendiri apabila terasa hangat cinta kekanda menyapa adinda.” Jawab Tuanku Putri dengan wajah yang berseri-seri, bak bulan purnama mengambang penuh.
Tuanku Mahkota membalas senyuman Tuanku Putri sambil menatap wajah kesayangan baginda. “Indah sungguh tutur katamu, dinda, seindah wajahmu”, bisik Tuanku Mahkota di dalam hati. Cinta Tuanku Mahkota semakin menyemarak terhadap Permaisuri tercinta.
Tiba-tiba wajah Tuanku Mahkota bertukar kelat. Baginda melemparkan pandangan ke luar jendela, merenung pekat malam yang tiada berbintang.
“Ada sesuatu yang menganggu fikiran kekanda tercinta? Katakanlah kepada adinda, manalah tahu adinda dapat membantu kekanda, atau sekurang-kurangnya dapat melegakan fikiran kekanda.”
Tuanku Mahkota mengalihkan pandangan baginda ke wajah Permaisuri tercinta.
“Memang benar adinda. Kekanda sedang memikirkan cara untuk menyelesaikan dua perkara. Seperti yang adinda telah sedia maklum, satu purnama dari sekarang, kita akan berangkat ke kerajaan di Pulau Seberang kerana mendapat jemputan dari sana. Kehadiran kita di sana amat penting untuk merapatkan hubungan dua buah kerajaan serantau dari rumpun yang sama, memandangkan banyak pergolakan telah berlaku yang menyebabkan hubungan dua kerajaan ini agak tegang.”
“Jadi, apa yang merisaukan kekanda?”
“Kekanda sebenarnya tidak dapat menghadirkan diri ke sana kerana kekanda terpaksa menyelesaikan masalah negara yang lebih penting di sini kerana pada waktu yang sama juga, seluruh raja dari Kepulauan Melayu akan datang untuk mengadap kekanda dan membincangkan masalah di perairan negara.”
“Jika begitu kekanda, biarlah adinda dan rombongan sahaja yang pergi mengadap Raja di Tanah Seberang, mewakili kekanda dan kerajaan kita. Akan adinda perjelaskan sebab ketidakhadiran kekanda. Adinda yakin, mereka pasti mengerti dan hal ini tidak akan menjadi dendam kepada mereka. Bukankah adinda merupakan permaisuri kerajaan ini, jadi pasti tidak menjadi masalah kepada mereka untuk menerima adinda.”
Wajah Tuanku Mahkota berseri-seri semula. “Benarkah bagai dikata, adinda tercinta? Tidakkah semua ini akan membebankan adinda?”
“Benar kekanda, sebagai permaisuri kerajaan ini, perkara ini juga merupakan tanggungjawab adinda untuk membantu kekanda. Jika tidak, apakah peranan permaisuri, adakah semata-mata sebagai penghias istana?”
Tuanku Mahkota benar-benar gembira dengan jawapan tulus Permaisuri tercinta. “Terima kasih adinda. Fikiran dan hati kekanda sudah lapang kini. Adinda banyak membantu kekanda dalam urusan pentadbiran negara. Seluruh rakyat seharusnya berbangga kerana mempunyai seorang permaisuri yang bijak seperti adinda. Semoga kerajaan kita semakin makmur dan sentosa.”
“Ya kekanda, mudah-mudahan,” jawab Tuanku Putri Noor Asmara dengan senyuman yang tak pernah lekang dari bibir.
Setelah tiba waktu dan ketikanya, maka berangkatlah Tuanku Putri Noor Asmara bersama rombongan ke kerajaan di Tanah Seberang. Pelayaran merentas Laut China Selatan itu mengambil masa beberapa hari. Apabila sampai di kerajaan yang dimaksudkan, Tuanku Putri Noor Asmara dan rombongan disambut meriah dengan penuh adat istiadat kerajaan Tanah Seberang. Setelah mempersembahkan sebab ketidakhadiran Tuanku Mahkota Alam Syah kepada Raden Pangeran, raja kerajaan Tanah Seberang, maka Tuanku Putri Noor Asmara dan rombongan di bawa ke istana tetamu untuk bersemayam.
“Beta berharap Tuanku Putri dan rombongan selesa di sini. Jika ada apa-apa masalah dan keperluan, khabarkan saja kepada beta atau kepada dayang-dayang istana. Selama Tuanku Putri berada di sini, beta tidak mahu Tuanku Mahkota Alam Syah bimbang akan keadaan Tuanku Putri.” Pesan Raden Pangeran kepada Tuanku Putri Noor Asmara. Bimbang hati baginda seandainya layanan yang diberikan oleh pihak istana baginda terhadap Tuanku Putri Noor Asmara tidak sempurna, kerana bagi baginda, tetamu harus dimuliakan dan dilayan sebaik-baiknya.
Tuanku Putri Noor Asmara tersenyum sambil bertitah. “Raden Pangeran tidak perlu khuatir. Beta dan rombongan pasti selesa di sini.”
Sepanjang berada di kerajaan Tanah Seberang, Tuanku Putri Noor Asmara berperanan sebagai wakil Tuanku Mahkota Alam Syah. Segala masalah kedua-dua negara diselesaikan oleh Tuanku Putri Noor Asmara dan Raden Pangeran. Oleh sebab mereka selalu berurusan bersama, hubungan kedua-duanya semakin akrab.
Sesuatu yang amat disenangi oleh Tuanku Putri Noor Asmara tentang Raden Pangeran ialah, baginda merupakan seorang pemerintah yang amat ramah dan disayangi oleh rakyat jelata. Baginda juga bijak mengatur bicara apabila berhadapan dengan sesiapa sahaja. Sepanjang Tuanku Putri Noor Asmara berurusan dengan Raden Pangeran, Tuanku Putri Noor Asmara tidak pernah melihat baginda menzahirkan amarah baginda kepada sesiapapun, malah baginda merupakan seorang raja yang pemaaf.
Raden Pangeran juga merupakan seorang raja yang tinggi ilmu pengetahuan, malah amat bijak bermadah untuk menyampaikan hasrat hati. Segala yang dizahirkan oleh Raden Pangeran selalu menjadi teka-teki kepada mereka yang tidak memahami. Baginda Raden Pangeran juga suka bermadah dengan Tuaku Putri Noor Asmara, terkadang membuat Tuanku Putri Noor Asmara sukar mengerti.
Pada suatu pagi, Tuanku Putri Noor Asmara menerima jambangan mawar merah daripada Raden Pangeran yang dikirimkan melalui ketua dayang istana. Tuanku Putri berasa gembira tidak terkata.
“Kukirim bunga itu sebagai lambang indahnya persahabatan kita. Semoga kau suka.” Jelas Raden Pangeran apabila Tuanku Putri bertanya.
“Terima kasih, Pangeran. Beta suka sekali akan bunga kiriman Pangeran itu. Indah sekali jambangan tersebut. Semoga persahabatan ini mampu mengusir prasangka antara dua negara serumpun, merapatkan jurang yang tersedia dan kita sebagai jambatannya.”
“Ya, mudah-mudahan.”
Raden Pangeran juga selalu menemani Tuanku Putri bersiar-siar di taman larangan istana. Di taman larangan istana, pelbagai bunga-bungaan indah tumbuh subur. Tuanku Puteri berasa sangat teruja melihat taman bunga indah di taman larangan istana. Suatu hari semasa Raden Pangeran dan Tuanku Putri bersiar-siar di taman larangan istana, Baginda Raden Pangeran mengajak Tuanku Putri ke sepohon mawar paling indah di taman itu. Tuanku Putri bagai terpukau melihat sekuntum mawar biru yang sedang mekar di tangkainya. Begitu takjub dan terpesona Tuanku Putri melihat mawar biru itu.
“Oh….indah sungguh mawar biru ini. Biru kelopaknya begitu mendamaikan. Rasa-rasanya beta sudah jatuh hati pada mawar biru ini,” ujar Tuanku Putri kepada Raden Pangeran.
Wajah Tuanku Putri berseri-seri tatkala melihat mawar biru itu. Senyuman yang menguntum di bibir merah merona bak delima merekah itu begitu meruntun hati sesiapa yang memandang. Pada kesempatan itu, Raden Pangeran menatap wajah indah milik Tuanku Putri. Pesona Tuanku Putri Noor Asmara begitu terserlah. Raden Pangeran terpana seketika.
“Pangeran, sudah adakah pemilik mawar biru ini?” Lembut dan manja suara itu bertanya.
Raden Pangeran tersentak. “Belum Putri. Nah, aku hadiahkan kepadamu.”
“Ohhh, terima kasih, Pangeran. Beta suka sekali. Beta berasa bangga kerana menjadi pemilik abadi mawar biru lambang cinta ini.”
Wajah Tuanku Putri semakin berseri-seri. Gembira hatinya tidak terkira kerana mendapat hadiah istimewa seumpama itu. Kegembiraan di hati jelas terpancar pada wajah lembut itu. Raden Pangeran tersenyum melihat kegembiraan Tuanku Putri.
“Ya, InsyaAllah, tak akan kuberikan lagi kepada yang lain,” ujar Raden Pangeran dengan nada berjanji.
Raden Pangeran selalu juga mengarang madah-madah indah di dalam kitab, dan kitab-kitab itu boleh dibaca oleh sesiapa sahaja yang berhajat. Terkadang, Tuanku Putri Noor Asmara terserempak dengan Raden Pangeran duduk bersendirian di Balai Rong Seri, sedang khusyuk mengarang madah-madah indah di dalam kitab. Tuanku Puri Noor Asmara tidak berani menegur Raden Pangeran pada ketika itu. Baginda hanya memerhati dari jauh. Apabila ada kelapangan, Tuanku Putri juga selalu membaca madah-madah indah karangan Raden Pangeran. Dalam diam, Tuanku Putri Noor Asmara mengagumi Raden Pangeran. Hati wanitanya sudah terpikat dengan madah-madah Raden Pangeran yang begitu menyentuh hati. Madah Raden Pangeran begitu berbekas di hati Tuanku Putri Noor Asmara.
Suatu hari di tepi tasik di taman larangan istana, Tuanku Putri sedang bersendirian, sedang khusyuk membaca kitab yang mengandungi madah-madah karangan Raden Pangeran. Tiba-tiba Raden Pangeran muncul lalu menyapa Tuanku Putri.
“Putri, apa pendapatmu setelah membaca madah-madah karanganku itu?” Tanya Raden Pangeran kepada Tuanku Putri. Suka sekali Raden Pangeran melihat Tuanku Putri membaca kitab-kitab karangan baginda.
“Beta sesungguhnya amat mengagumi Pangeran. Citra Pangeran sangat hebat. Bicara Pangeran sentiasa puitis. Madah Pangeran menyentuh jiwa. Sejujurnya beta seperti sudah jatuh hati pada kalimah-kalimah Pangeran yang sering kali membuai perasaan beta.”
“Terima kasih Putri. Sebenarnya, apa yang aku tulis adalah inspirasi jiwa, daripada pengalaman, daripada mendengar dan melihat, kenangan masa lalu, kenyataan hari ini dan impian hari esok, sama juga aku mengagumimu, Putri.”
“Pangeran, Pangeran juga ada menyebut tentang kristal bening dalam beberapa madah Pangeran. Kristal bening itu apa sebenarnya?”
Raden Pangeran tersenyum penuh makna apabila diajukan soalan tentang kristal bening oleh Tuanku Putri. Raden Pangeran meletakkan tangan kanan baginda di dada kiri seraya menjawab pertanyaan Tuanku Putri.
“Berpuluh kalimah indah untuk mentafsirkan, berpuluh mutiara kata untuk memaknakan, namun tiada juga dapat menjawab pertanyaan tentang kristal bening itu. Jawabnya hanya ada di sini, di relung hati ini.”
“Hmmm... beta terlalu naif untuk menyelami firasat Pangeran.” Tuanku Putri semakin bingung. Sukar bagi baginda untuk memahami ucapan Raden Pangeran.
“Kristal bening itu begitu agung . Aku cuba menjaganya dengan pengawalku yang terlatih agar tidak diambil orang. Kuletakkan di sana, di tempat di mana orang bisa melihat dan berdecak kagum kerananya. Kristal bening itu kujaga dengan sepenuh hati karena ia mudah pecah, tapi aku jadi khuatir, biar aku berasa tenang, ia kuletakkan di singgahsana di kerajaan hatiku, di dalam lubuk hatiku yang terdalam. Kini Kristal bening itu menjadi milikku.”
Tuanku Putri asyik sekali mendengar ucapan Raden Pangeran. Baginda tidak mengusul lagi. Ah.. biarkanlah dia dengan madah-madahnya, bisik Tuanku Putri di dalam hati. Sambil mendengar ucapan Raden Pangeran, Tuanku Putri sempat mencuri menatap wajah sang raja di hadapan baginda. Raut wajah lelaki itu agak serius, tidak sepadan dengan sifatnya yang ramah, merendah diri dan baik hati. Kumis tipis di atas sepasang bibir yang bagai terlukis itu melengkapkan wajah seorang kesatria sejati. Hmmm...tingginya sederhana, tetapi lebih tinggi daripada beta, Tuanku Putri berkira-kira sendiri. Persalinan baginda sentiasa kemas dan lengkap, sesuai dengan persalinan seorang raja di kerajaan itu. Dalam diam, Tuanku Putri Noor Asmara mengagumi Raden Pangeran dalam persalinan berwarna hitam kerana baginya, lelaki itu kelihatan kacak dalam persalinan berwarna hitam. Tuanku Putri tersenyum sendiri. Tiba-tiba Tuanku Putri tersentak apabila Raden Pangeran memanggil baginda.
“Putri...?”
“Ya..?”
“Aku juga ada mengarang pantun tentang kristal bening. Mahukah kamu mendengarnya?”
“ Ya, silakan Pangeran...”
Tanpa berlengah lagi, Raden Pangeran terus berpantun.
“Bukan memintal sembarang pintal
Pinta memakai mesin penggiling
Bukan kristal sembarang kristal
Kristalku ini "Kristal Bening"
Pinta memakai mesin penggiling
Bukan kristal sembarang kristal
Kristalku ini "Kristal Bening"
Anak gembala meniup seruling
Meniup seruling di lembah sunyi
Meniup seruling di lembah sunyi
Istimewanya bagiku si Kristal Bening
Tak ada duanya di hati ini...”
Tak ada duanya di hati ini...”
“Bagaimana Purti, apa pendapatmu?
“Ohh... beta suka sekali akan pantun itu. Pangeran sesungguhnya sangat hebat, hebat bermadah, hebat berpantun dan juga seorang pemerintah yang hebat.”
“Terlalu besar pujianmu itu Putri...”.
“Beta ikhlas memberikan pendapat....”
“Terima kasih, Putri. Kamu juga seorang permaisuri yang hebat. Untung kerajaanmu mempunyai seorang permaisuri yang hebat, bijak dan berparas jelita seperti kamu....”
Tuanku Putri Noor Asmara tertunduk malu mendengar pujian Raden Pangeran. Hati wanitanya sedikit bangga mendengar pujian Raden Pangeran.
“Pangeran, madah-madahmu ini selain sangat indah, ia juga berbau rindu. Pangeran kelihatannya seperti sedang merindui seseorang yang sangat istimewa. Bolehkah beta tahu, siapakah gerangannya orang yang Pangeran rindukan itu?”
Raden Pangeran tertawa kecil. Hati baginda riang berbunga. Direnungnya mata Tuanku Putri. Ternyata Tuanku Putri tidak mampu membalas renungan tajam Raden Pangeran. Terasa debaran di dada. Tuanku Putri mengalihkan pandangannya ke arah tasik yang membiru airnya itu.
“Dia sahabatku. Dia berada nun jauh di seberang, namun begitu teramat dekat dalam perasaan . Rinduku memang untuknya. Sukma dan raganya memang berada nun jauh di sana di tanah seberang, tapi dia telah hadir di sini, di kerajaan hati ini, di istana ini, di singgasana ini, di lubuk hatiku yang teramat dalam.”
“Sukar mencari yang tersirat dalam yang tersurat dalam madah-madah Pangeran. Pangeran banyak berteka-teki. Jika tidak keberatan, bolehkah beta tahu siapakah sahabatmu itu Pangeran? Amat bertuah dirinya menjadi sahabatmu.”
“Dianya ada di sini, di hati ini... lihatlah hatiku” Raden Pangeran menepuk-nepuk dadanya. Hanya baginda yang mengerti.
Tuanku Putri semakin bingung. Baginda tidak memahami maksud kata-kata Raden Pangeran. Baginda tidak mahu mengusul lagi. Terlalu berkias lelaki ini, bisik hati Tuanku Putri.
Raden Pangeran menyambung lagi. “Sudah terjawab, jawabnya ada di sini.”
“Beta benar-benar tidak memahami maksudmu Pangeran. Siapa atau apa yang ada di sini? Di sini? “
“Di sini di dalam hati biarlah hati yang mengetahuinya, bukankah Putri juga sahabatku dari tanah seberang? “
Tuanku Putri tertawa kecil memperlihatkan barisan gigi putih baginda yang tersusun rapi.
“Pangeran terlalu suka berkias, menjadikan beta lebih keliru apabila cuba merungkaikan teka-tekimu. Pangeran, beta ini jenis yang lurus, terlalu naif mentafsir madah yang tersirat. Beta bimbang jika tafsiran cetek beta mengundang pandangan sinis Pangeran. Berterus terang sajalah, beta akan cuba mengerti.”
“Mungkin inilah saatnya yang sesuai..” bisik Raden Pangeran di dalam hati. Raden Pangeran membuang pandangannya ke arah tasik yang membiru airnya itu. Baginda seperti sedang mencari kalimah yang sesuai untuk menjawab pertanyaan Sang Putri di hadapannya. Lalu wajah Sang Putri ditatapnya seketika. Begitu lembut wajah di hadapan baginda. Pasti damai dan tenang hati sesiapa yang memandang wajah lembut itu, getus hati Raden Pangeran. Wajah mulus itu diratahnya seketika, manakala Tuanku Putri begitu bersabar menunggu jawapan yang bakal dikeluarkan dari mulut Raden Pangeran. Setelah segala keyakinan berjaya dikumpulkannya, Raden Pangeran mula bersuara.
“Mungkin inilah saatnya yang sesuai..” bisik Raden Pangeran di dalam hati. Raden Pangeran membuang pandangannya ke arah tasik yang membiru airnya itu. Baginda seperti sedang mencari kalimah yang sesuai untuk menjawab pertanyaan Sang Putri di hadapannya. Lalu wajah Sang Putri ditatapnya seketika. Begitu lembut wajah di hadapan baginda. Pasti damai dan tenang hati sesiapa yang memandang wajah lembut itu, getus hati Raden Pangeran. Wajah mulus itu diratahnya seketika, manakala Tuanku Putri begitu bersabar menunggu jawapan yang bakal dikeluarkan dari mulut Raden Pangeran. Setelah segala keyakinan berjaya dikumpulkannya, Raden Pangeran mula bersuara.
“Putri, jujur aku sampaikan, kalau aku sering rindukanmu, aku rindu akan sapaanmu, aku rindu dengan senyummu yang ramah, aku rindukanmu karena kita sering berurusan bersama. Jadi maafkan kalau kamu selalu aku rindukan.”
Tuanku Putri Noor Asmara tergamam seketika setelah mendengar pengakuan yang tidak disangka-sangka itu dari mulut Raden Pangeran. Wajah Tuanku Putri menjadi merah padam. Sepasang mata galak itu membulat seakan tidak percaya dengan ucapan yang didengarinya. Lidah baginda kelu untuk berkata-kata.
“Putri..?”
Setelah dirinya berasa agak tenang, Tuanku Putri kembali bersuara, sambil berusaha menahan getar suaranya agar tidak kedengaran pada pendengaran Raden Pangeran.
“Terima kasih atas pengakuan jujurmu, Pangeran. Beta rasa begitu terharu. Tiada apa yang perlu dimaafkan kerana Pangeran tidak melakukan dosa. Perasaan sayang dan rindu itu anugerah Illahi, bukan?” Begitu berhati-hati Tuanku Putri mengatur bicara.
”Maaf, beta ingin bertanya dan maaf juga sekiranya tafsiran beta tersasar. Adakah madah-madah rindu karangan Pangeran yang tertulis dalam kitab-kitab ini sebenarnya Pangeran tujukan kepada beta? Dan kristal bening...?“
“Maafkan atas kejujuranku, karena aku tak mahu membohongi diriku sendiri di hadapan Sang Pencipta langit, bumi dan seisinya. Sekali lagi maaf kalau kurang berkenan, madah rindu yang aku tulis, hanya untukmu dan kristal bening itu adalah dirimu.”
Ternyata Tuanku Putri terkejut dengan jawapan Raden Pangeran.
“Ohhh... sesungguhnya selama ini beta tidak pernah tahu bahawa betalah kristal bening itu.... begitu Pangeran tersiksa jiwa dan raga kerana beta. Maafkan beta, sesungguhnya beta amat terharu kerana beta begitu istimewa di hati Pangeran”.
"Putri, bolehkah kita saling merindu?”
Tuanku Putri sekali lagi terkedu dengan permintaan Raden Pangeran. Benarkah apa yag diucapkan lelaki ini, bisik Tuanku Putri di dalam hati.
Teragak-agak Tuanku Putri menjawab. “Ya, saling merindu antara sahabat, beta rasa tiada salahnya.”
Raden Pangeran terseyum mendengar jawapan Tuaku Putri. Terpancar kegembiraan pada wajah lelaki itu.
“Pangeran, luahan rasa rindumu kepada beta begitu mendalam, dan kelihatannya Pangeran menanggung beban akibat rasa rindu itu. Tidakkah rasa sayang dan rindu yang mendalam itu selayaknya untuk Permaisuri tercinta Pangeran? Tidakkah beta nanti dianggap sebagai orang ketiga dalam hubungan kalian berdua?” Tuanku Putri bertanya meluahkan rasa bimbang di hati.
“Aku juga tidak pernah mengerti, kenapa rasa rinduku padamu begitu berlebih, taklah aku sadari begitu. Ada sesuatu yang tumbuh di hati, tapi tak apalah, kerinduan dan sayang padamu juga tak membuat pecah bahtera rumah tanggaku, demikian juga pada dirimu, kalaulah boleh aku meletakkan dirimu, ada di antara sahabat dan kekasih. Maafkan kalau aku terlalu lancang berbicara, tapi biarkan aku berbicara dengan bahasa hatiku, bahasa penuh kejujuran.”
“Terima kasih atas penjelasan itu walaupun Pangeran sendiri tidak mengerti kenapa rasa rindu itu begitu berlebih kepada beta, dan betapa Pangeran merindui beta, beta amat menghargainya, tapi paling penting, kita sama-sama jujur dengan hubungan ini kerana kita masing-masing ada tanggungjawab, iaitu rakyat dan kerajaan kita.”
Raden Pangeran sekadar mengangguk.
“Boleh beta bertanya lagi? Apa istimewanya beta di matamu, Pangeran?”
Wajah Sang Putri di hadapannya ditatap lagi. Sepasang mata galak yang sedang menunggu jawapan daripadanya direnung sedalamnya. Tuanku Putri melarikan matanya daripada renungan tajam itu.
“Susah untuk diucapkan, antaranya cerdas, punya tugas mulia, dan seribu kata pujian yang susah untuk aku ungkapkan buatmu, karena itu dari hati dan mungkin itu anugerah Illahi. Hanya Tuhan sahajalah yang tahu semuanya.”
“Hmmmm....cerdas? Maksudnya?”
“Permaisuri yang pandai, disukai semua rakyat, peribadi yang menyenangkan.”
“Disukai semua rakyat? Peribadi yang menyenangkan? Ha ha ha ... Bagaimana Pangeran menilai beta? Tuanku Putri tertawa kecil.
“Daripada pemerhatianku dan pujian daripada rombonganmu, dan satu hal aku minta jawabmu, kenapa aku juga menyukaimu?”
“Entahlah, mungkin benar rakyat beta sangat menyayangi beta. Mereka begitu setia dengan beta dan pemerintahan beta. Beta yang sepatutnya melontarkan soalan itu kepada Pangeran. Ya, kenapa Pangeran menyukai beta?”
“Sudah kujawab tadi, mungkin dari hati dan itu anugerah Ilahi”
“Jadi Pangeran masih mahu jawapan daripada beta?“
“Ya, jawab darimu, kerana bagiku, dirimu begitu berharga.”
“Sesungguhnya beta benar-benar tidak tahu kenapa Pangeraan menyukai beta, dan beta tidak pernah menyangka bahawa Pangeran terlalu memuja beta. Sejak bila Pangeran mula menyedari bahawa Pangeran mula sayang dan mula merindui beta? Adakah sejak mula-mula beta tiba di sini?”
“Beberapa saat kemudian setelah itu, rasa itu pun datang.”
“Oh ya Putri, bagaimana penilaianmu tentang peribadiku?” Kini, giliran Raden Pangeran pula bertanya kepada Tuanku Putri.
“Ya, seperti yang pernah beta katakan terdahulu, beta memang mengagumi Pangeran kerana Pangeran punya citra yang sangat hebat. Bicara Pangeran sentiasa puitis, dan Pangeran banyak berkias dalam menyampaikan rasa hati. Bait-bait madah Pangeran amat menyentuh hati dan membuai perasaan beta. Beta senang membaca madah Pangeran walaupun pada mulanya beta langsung tidak menyedari bahawa madah-madah rindu itu khusus untuk beta, dan yang pastinya Pangeran juga disayangi rakyat jelata. Pasti mereka akan terperanjat besar jika mengetahui kristal bening Pangeran itu sebenarnya ialah beta”
Raden Pangeran tersenyum gembira mendengar pengakuan Tuanku Putri Noor Asmara. Hatinya begitu lapang.
“Ya, semuanya dalam teka-teki. Semuanya bertanya sampai hari ini. Sesiapa juga tak pernah tahu apa itu kristal bening, hanya Putri satu-satunya yang tahu maksud sesungguhnya tentang kristal bening itu. Aku memiliki yang teristimewa, ia adalah dirimu.”
******************************************
Untuk seketika, hubungan persahabatan antara kedua-duanya berjalan lancar dan penuh rasa hormat antara satu sama lain. Walau bagaimanapun, tidak lama kemudian, Raden Pangeran berasa ada sesuatu yang tidak kena akan Tuanku Putri Noor Asmara. Tuanku Putri dilihatnya seperti tidak begitu ceria, tidak seramah dahulu dan kelihatannya cuba mengelakkan diri daripada berhadapan dengan Raden Pangeran. Raden Pangeran berasa tidak senang hati, juga sedikit terkilan dengan perubahan sikap Tuanku Putri yang tiba-tiba itu. Suatu hari apabila Raden Pangeran cuba mendekati Tuanku Putri dan menyapa baginda, Tuanku Putri terus menjauhkan diri. Raden Pangeran terkejut dengan tindakan Tuanku Putri.
“Apa salahku padamu, Putri? Kenapa kamu menjauhkan diri daripadaku?" Raden Pangeran merintih sendiri. Sedih hatinya tidak terkira dengan perubahan sikap Tuanku Putri Noor Asmara.
Sudah berkali-kali Raden Pangeran cuba menyapa Tuanku Putri, tetapi Tuanku Putri langsung tidak membalas, malah terus berlalu dengan wajah sugul, meninggalkan Raden Pangeran terpinga-pinga. Hati Raden Pangeran sangat terluka dengan sikap Tuanku Putri yang begitu dingin terhadapnya.
Di suatu petang yang nyaman, di taman larangan istana yang indah, kelihatan Tuanku Putri Noor Asmara sedang duduk termenung di tepi tasik yang membiru airnya itu. Tuanku Putri membuang pandangannya jauh ke kaki langit. Sungguh indah pemandangan di kaki langit sewaktu sang mentari mula melabuhkan diri. Wajah Tuanku Putri kelihatan sugul sekali. Setelah agak lama melayan menungannya, baginda memandang air tasik yang jernih sambil tangan kanan baginda mengocak-ngocak air tasik yang jernih itu sehingga timbul gegelang air di sekeliling tangan baginda. Ketika Tuanku Putri memanjangkan tangan kanan baginda ke dalam air, selendang biru di bahu baginda terlondeh sedikit sehingga hujung selendang itu mencecah air sehingga basah sebahagiannya. Tuanku Putri kelihatan asyik pula bermain air tasik itu sehingga tidak menyedari hujung selendang baginda yang basah itu.
Lama Tuanku Putri bersendirian di tepi tasik itu. Sang bayu bertiup nyaman. Tuanku Putri terasa pipi mulus baginda ditampar lembut oleh hembusan bayu. Seketika Tuanku Putri terkejut dengan kehadiran Raden Pangeran yang muncul secara tiba-tiba di sisi baginda. Tuanku Putri kelihatan agak resah apabila berhadapan dengan Raden Pangeran. Raden Pangeran tersenyum memandang Tuanku Putri Noor Asmara. Tuanku Putri membalas senyuman Raden Pangeran, namun senyuman baginda hambar. Tuanku Putri cuba berlalu tetapi dihalang oleh Raden Pangeran. Tingkah Tuanku Putri itu menimbulkan kesedihan kepada Raden Pangeran.
“Putri, kenapa kamu tiba-tiba berubah sikap terhadapku? Adakah aku ada berbuat salah kepadamu atau adakah kata-kataku yang menyinggung perasaanmu hingga kamu berubah sedemikan rupa? Maafkan aku, Putri, jika ada kata-kataku salah. Aku mohon maaf daripadamu setulus hati.”
Tuanku Putri hanya membisu seribu bahasa. Baginda kehilangan kata-kata.
“Putri, katakanlah sesuatu. Jangan hukum aku begini. Jika aku pernah menyakiti hatimu, berterus-teranglah kepadaku.”
Tuanku Putri Noor Asmara berasa sebak mendengar rintihan Raden Pangeran. Baginda mula berasa bersalah sehingga menyebabkan Raden Pangeran berkata sedemikian. Dalam keadaan serba salah, akhirnya Tuanku Putri bersuara.
“Pangeran silap. Beta berdiam diri bukan kerana salah faham akan Pangeran, tetapi ada sebab yang lain.”
“Apa sebaikya aku boleh tahu sebab itu, apa mungkin aku bisa membantu, karena dengan kamu berdiam diri, aku merasa amat sangat bersalah, karena aku tak ingin, ada orang lain menderita karenaku. Putri, kalau ada masalah kenapa harus ditanggung sendiri?
“Sebabnya ada kaitan denganmu, Pangeran, tapi tak apalah, beta cuma perlukan ruang dan waktu untuk bersendiri. Beta mohon agar Pangeran tidak terlalu mendesak beta atau Pangeran akan kehilangan beta untuk selama-lamanya." Ucapan Tuanku Putri mati di situ.
"Apa maksudmu Putri? Adakah semua ini ada kaitan dengan hubungan kita?"
Tuanku Putri membiarkan sahaja pertanyaan Raden Pangeran. Baginda tidak sanggup untuk terus berkata-kata. Raden Pangeran cuba memahami. Raden Pangeran akhirnya melepaskan satu keluhan berat.
"Aku mengerti sekarang. Maaf Putri, kalau semua ini jadi beban membuat sebak di dadamu, sebaiknya kita kembali ke persahabatan semula, aku tak ingin pula memutus silaturrahim antara kita, aku takkan lagi menulis kata-kata indah untuk sesiapa pun, tapi aku tak akan rela, kalau kamu membenci aku, hanya kerana aku membuat dirimu harus menyendiri. Bukankah persahabatan akan lebih abadi. Lupakan semua madahku, Putri. Kalau aku pernah jujur dengan ucapanku, dengan tulus pula aku mohon agar lupakan semua ucapanku.”
“Pangeran, beta mohon ampun dan maaf, beta harus segera pulang ke kerajaan beta. Beta dan rombongan akan pulang esok sesudah muncul sang mentari. Beta mohon, berikan beta waktu. Jika ada jodoh dan keizinan-Nya, kita akan bertemu lagi. Pangeran akan tetap beta kenang selama-lamanya. Maafkan beta sekali lagi,“ ucap Tuanku Putri penuh sebak.
Raden Pangeran ternyata terkejut dengan jawapan Tuanku Putri. Hampa rasa hatinya mendengar keputusan Tuanku Putri.
“Aku juga mohon maaf Putri, kalau selama kita bersahabat ada kata-kataku yang melukai perasaanmu, manusia tempatnya khilaf dan salah. Aku doakan mudah-mudahan kamu mendapat teman-teman yang lebih baik daripada aku dalam segala hal. Aku menyedari, mungkin kamu berasa menyesal bersahabat denganku, tapi itu aku maklumi, tak apalah, terima kasih banyak. Walau hati ini sedikit tak menerima tapi apa hendak dikata. Aku menyedari aku bukanlah apa-apa, hanya pengagum. Tak ada sesuatu yang berharga yang dapat aku berikan. Lupakan semua ucapan-ucapanku, madah-madahku, perasaanku. Biarlah namamu tetap aku tulis, dan aku jadikan kenangan. Hidupku mencatat, aku pernah punya sahabat di seberang walau cuma sesaat, kemudian aku kehilangannya. Terima kasih atas kebaikanmu, Putri. Maaf pula aku mohon.”
Tuanku Putri memandang tepat ke wajah Raden Pangeran. Sepasang mata galak itu mula digenangi mutiara bening, lalu mengalir lebat membasahi pipi mulus itu. Tuanku Putri benar-benar terluka mendengar ucapan Raden Pangeran. Baginda tidak rela Raden Pangeran membuat andaian sebegitu.
“Pangeran, beta juga tidak rela dan tidak redha akan perpisahan ini. Lihatlah air mata beta yang deras mengalir ini, beta juga takut untuk melepaskanmu Pangeran, tapi beta terpaksa. Beta mohon, lepaskan beta dengan rela, tolonglah, beta mohon.” Tuanku Putri merayu dengan suara yang tersekat-sekat. Biarlah Raden Pangeran melihat air matanya yang deras mengalir. Biar lelaki itu tahu bahawa hatinya juga sangat terluka.
“Putri, aku tak mampu menipu perasaanku. Aku juga tidak bisa membohongi perasaanku, walau kamu tak percaya semua ini, karena bagiku, dirimu begitu agung. Mengapa kita harus berpisah, mengapa dunia ini kejam, mengapa dunia ini tak berperasaan, mengapa?” Suara Raden Pangeran kedengaran bergetar, seakan menahan sebak di dada.
Tuanku Putri Noor Asmara memandang tepat ke mata Raden Pangeran. Dua pasang mata itu bertentangan. Saling meminta pengertian.
“Pangeran mahu tahu kenapa beta melakukan ini? Baiklah, beta akan berterus terang. Beta lakukan ini semua kerana beta sudah mulai menyayangi Pangeran dan mungkin juga sudah jatuh hati pada Pangeran, tapi perasaan itu salah!!! Beta seorang permaisuri di sebuah kerajaan di tanah seberang dan Pangeran seorang raja di kerajaan ini...!! Pangeran mengerti sekarang?” Sejurus berkata-kata, Tuanku Putri menekup mukanya dengan kedua-dua telapak tangannya, menahan isak tangis yang semakin menggila.
“Aku mengerti Putri. Aku sudah sampaikan terdahulu. Kita berada di tengah batas, satu langkah ke depan kita sebagai kekasih, satu langkah ke belakang kita sahabat, biarlah kita ada di posisi neutral. Jujur berteman denganmu, aku ingin belajar bahasa dan budayamu, tentang kerajaanmu, tentang dirimu, karena aku tertarik, dirimu cocok sebagai inspirator dalam madah-madahku. Kita benamkan perasaan hati, sahabat lebih abadi, tapi permintaanku mungkin sudah terlambat, karena mungkin esok aku akan kehilanganmu. Aku hargai perasaanmu seperti kau hargai perasaanku, tapi kenapa kekejaman ini menimpaku? Sebak dadaku juga, rasanya sedih ini akan berpanjangan.”
Sayu sekali kedengaran suara Raden Pangeran berkata-kata. Sayu lagi hatinya melihat keadaan Tuanku Putri Noor Asmara yang sedang bergelut dengan tangisannya. Raden Pangeran melangkah ke satu sudut taman. Lama Raden Pangeran berdiri termenung di sudut taman itu sambil memandang tirai sutra berwarna pink, namun akhirnya kepada Tuanku Putri dia ucapkan lagi.
"Aku sadari semua ini, Putri, waktulah yang akan berbicara. Semua itu menjadi rahsia indah kita, bahawa suatu masa dalam suatu waktu dalam kehidupan kita, pernah terjalin hati, walau itu mungkin tak pernah kita inginkan. Sekuntum mawar biru yang pernah aku berikan dulu, biar selalu hidup dan segar di hatimu, biarkan dia selalu hidup dan tumbuh subur, rawatlah dia setiap saat kapan kau suka, jangan lalai sedikitpun, dalam kelopaknya pernah bersemi cinta kita, di situ juga pernah bersenandung rindu-rindu kita, di situ pula pernah bersatu kedua sukma kita. Kita kembali ke kerajaan masing-masing, rakyat dan negara kita membutuhkan kita, kerajaan butuh ketegaran Pangeran dan Putri. Derai air mata itu jangan kau kucurkan lagi, bukan berarti tak boleh. Kalau pernah ada ruang rindu dapatlah kita masuk ke dalamnya walau sesaat, jangan kau tutup ruang itu, karena ruang itulah satu-satunya milik kita yang masih tersisa. Jangan pernah sesali rasa itu hadir. Cinta memang tak pernah mengenal ruang dan waktu, cinta juga tak pernah memilih hati, namun semua itu memang salah. Jangan tembus tirai yang jadi penghalang, agar tidak menjadi kehancuran bagi kita dan kerajaan yang telah kita dirikan dengan segala susah payah.”
Setelah Sang Pangeran habis berkata-kata, Sang Putri berdiri seketika sambil memandang sayu ke arah Sang Pangeran. Mutiara bening terus menitik membasahi wajah mulus Sang Putri, dibiarkannya sahaja, tak perlu diseka. Kemudian Sang Putri berlalu ke taman larangan, memetik mawar biru yang hanya satu-satunya di taman itu, mencium dan membelai mawar itu dengan lembut, kemudian dia kembali kepada Sang Pangeran, lalu duduk bersimpuh penuh sopan di hadapan Sang Pangeran. Sang Pangeran hanya memerhati. Air mata turut membasahi.
“Pangeran....” satu ucapan terhenti di situ. Agak sukar untuk Sang Putri meneruskan bicara apabila sendu menguasai diri.
“Pangeran, aku berjanji kepadamu, akan kujaga, kurawat, dan kutatang mawar biru ini seperti aku menjaga diriku dan kerajaanku, dan tidak akan sesekali kututup ruang rindu itu kerana hanya itu yang tersisa buat kita, tapi bagaimana mungkin aku kembali kepada rakyat dan kerajaanku serta memerintah dengan telus dan makmur andai hatiku terbelah dua. Separuhnya masih terikat di relung hatimu. Kumohon padamu Pangeran, lepaskanlah hatiku yang separuh itu sepenuhnya kembali kepada asalnya agar aku mampu menumpukan seluruh jiwa dan ragaku memerintah rakyat dan kerajaanku tanpa berbelah bahagi kerana rakyat dan kerajaanku membutuhkan ketegaranku.”
Sang Putri tewas dalam tangisannya. Dia menangis semahu-mahunya. Dia juga sebenarnya tidak rela dengan ucapannya, tapi dia terpaksa. Harapannya agar Sang Pangeran mengerti situasinya.
Keesokan harinya, sebelum Tuanku Putri Noor Asmara dan rombongan berangkat pulang, Raden Pangeran menemui Tuanku Putri Noor Asmara di Balai Istana Rong Seri.
“Beta berjanji, beta tetap akan kembali bersahabat dengan Pangeran, tapi bukan untuk waktu terdekat ini, suatu waktu nanti apabila hati beta sudah tenang dan fikiran beta sudah lapang untuk menjadi Putri Noor Asmara yang baharu, Putri Noor Asmara yang ceria seperti dahulu, bukan Putri Noor Asmara kini yang sering ditemani mutiara bening.”
“Putri, ruang hati ini masih menerima kehadiranmu sahabatku. Aku setuju, namun jangan buang rasa itu sama sekali, simpanlah di ruang bertirai kaca, biar kita dapat melihatnya dari kejauhan pada suatu masa, pada suatu waktu, walau tak pernah tergapai, walau itu sebatas kenangan. Sahabat, kunanti kehadiranmu kembali.”
“Mungkin mudah bagi Pangeran untuk melenyapkan rasa itu, tapi tidak bagi beta. Mungkinkah kita boleh jadi sahabat kalau rasa itu masih membelenggu hati beta? Alangkah baiknya kalau masa itu boleh diundur, sewaktu beta bebas membaca madah-madah Pangeran, sewaktu beta ceria menyapa dan berbual-bual dengan Pangeran, iaitu sebelum beta menanyakan tentang kristal bening dan menanyakan siapa sahabat yang Pangeran rindukan itu. Kalaulah beta tidak menanyakan semua itu , alangkah baiknya. Beta tidak pernah menyesali akan hadirnya rasa itu, tapi dengan hadirnya rasa itu, beta terpaksa menyisihkan Pangeran kerana beta tidak mahu rasa itu menghancurkan kita dan persahabatan kita. Pangeran mengerti bukan?
“Aku juga berusaha kembali Putri, seperti aku yang kamu kenal pertama kali. Memang melupakan perasaan itu mudah bagiku, tapi membuangnya dari ruang hati amatlah sukar bahkan mungkin tidak bisa, tapi kalau itu jadi tirai penghalang persahabatan kita, mengapa tidak bisa. Putri, simpanlah cerita indah yang lalu itu. Itu semua jadi rahsia terindah kita berdua, pada suatu masa, pada suatu ketika, kita kembali menjadi sahabat yang baik, sahabat dalam segala suka mahupun duka. Simpanlah mutiara beningmu, atau biarkan terbawa terpaan pawana.”
“Mampukah beta menyayangi Pangeran hanya sebagai sahabat, sedangkan rasa itu menuntut lebih banyak? Adakah beta perlu sentiasa hidup dalam pura-pura?
“Putri, Pemaisuri kerajaan di Tanah Seberang, pemilik mawar biru. Semua itu Putri yang rasa, mudah-mudahan Putri mampu menyayangiku sebagai sahabat, demikian pula aku cuba menyayangimu, namun kalau rasa itu hadir, pasanglah tirai sutra berwarna pink itu, biar jarak kita tetap dekat, biar kita saling melihat, walau tak mampu berjabat tangan.”
“Ya, mudah-mudahan. Selamat tinggal Pangeran, ada jodoh kita pasti bertemu kembali. Beta mohon, lepaskanlah beta dengan rela.”
“Putri Noor Asmara, aku izinkan kau pergi untuk sementara, dan sekejap saja, karena esok atau lusa dirimu kuharapkan hadir kembali ke pangkuanku.”
Setelah itu, Tuanku Putri Noor Asmara dan rombongan pun belayarlah pulang ke negeri Indrapura membawa seribu satu kenangan yang tak akan mungkin terpadam dalam jiwa. Dalam hati baginda berdua, tersimpan kemas rahsia cinta mereka yang tidak akan kesampaian untuk selama-lamanya, kerana hal itu sesuatu yang amat mustahil untuk berlaku.
Semoga dua kerajaan yang dipimpin Sang Pangeran dan Sang Putri akan hidup damai berdampingan, kedua-dua rakyat negara saling menghormati, dan mengasihi, hidup yang damai hidup yang indah. Akankah suatu saat hati Sang Putri dilepaskan Sang Pangeran, kita tunggu cerita selanjutnya....